Thursday, February 21, 2013

PEMBANGUNAN PERDESAAN INDONESIA


Sampai saat ini karakteristik kawasan perdesaan masih dicirikan antara lain oleh rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja, tingginya tingkat kemiskinan, dan rendahnya kualitas lingkungan permukiman. Kegiatan ekonomi di perdesaan sebagian besar masih didominasi oleh sektor pertanian (primer). Hal ini terlihat dari pangsa tenaga kerja sektor pertanian di perdesaan yang masih besar, yang mencapai 64,6 persen pada tahun 2005 (Sakernas 2005), meskipun menurun dibandingkan dengan tahun 2003 yang mencapai 67,7 persen (Sakernas, 2003).   

Sementara itu, luas lahan pertanian khususnya sawah tidak bertambah secara signifikan, bahkan di Pulau Jawa cenderung mengalami penyusutan akibat adanya konversi lahan pertanian ke peruntukan yang lain. Di samping itu, terjadi fragmentasi lahan pertanian yang menyebabkan penguasaan petani terhadap lahan pertanian terus mengecil hingga berada jauh di bawah skala ekonomi yang layak. Angka rata-rata penguasaan tanah di Jawa saat ini diperkirakan hanya mencapai 0,2 hektar per rumah tangga petani. Kecenderungan ini dapat berakibat semakin menurunnya produktivitas tenaga kerja sektor pertanian di perdesaan.

Keterbatasan akses petani terhadap lahan dan sumber daya ekonomi lainnya terutama permodalan berakibat pada menurunnya produktivitas pertanian sehingga bermuara pada menurunnya tingkat kesejahteraan petani dan masyarakat perdesaan pada umumnya. Permasalahan tersebut dapat menyebabkan semakin melebarnya jurang ketimpangan desa-kota. Untuk mengatasi permasalahan tersebut RPJM Nasional 2004-2009 mengamanatkan, antara lain, perlunya dikembangkan kegiatan ekonomi non pertanian di perdesaan untuk menciptakan lapangan kerja yang lebih produktif bagi masyarakat perdesaan serta diversifikasi usaha pertanian ke arah komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi.


 
Dalam tahun 2006, upaya untuk mendorong berkembangnya kegiatan ekonomi di perdesaan ditempuh melalui kebijakan antara lain penguatan keterkaitan kegiatan pembangunan kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan dalam sebuah kesatuan wilayah pengembangan ekonomi lokal, promosi dan pemasaran produk-produk pertanian dan perdesaan lainnya, perluasan akses masyarakat terutama kaum perempuan ke sumber daya produktif, peningkatan prasarana dan sarana perdesaan, meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan, serta  pengembangan praktek-praktek budidaya pertanian dan usaha non  pertanian yang ramah lingkungan.  Pada akhir tahun 2006 diharapkan antara lain sebanyak 94 kawasan agropolitan di 94 kabupaten telah berkembang dan memperoleh dukungan prasarana dan sarana penunjang seperti jalan poros desa, jalan usaha tani, air bersih, pasar/kios pertanian, gudang dan lantai jemur; sekitar 30 ribu sambungan telepon baru telah terpasang di sebanyak 20 ribu desa melalui program USO; cakupan layanan air minum perpipaan untuk masyarakat perdesaan meningkat menjadi 12 persen; dan rasio elektrifikasi perdesaan mencapai 80,4 persen.

Pembangunan perdesaan dalam  tahun 2007 diperkirakan masih akan menghadapi beberapa kendala dan permasalahan mendasar seperti antara lain: (a) terbatasnya prasarana dan sarana dasar, informasi peluang usaha/pasar, serta pengetahuan, ketrampilan teknis dan kewirausahaan masyarakat yang menghambat berkembangnya kegiatan ekonomi rakyat di perdesaan; (b) masih terbatasnya kemampuan masyarakat dan/atau lembaga kemasyarakatan di perdesaan dalam pembangunan, pemeliharaan dan pengawasan prasarana dan sarana dasar perdesaan; (c) belum mantapnya kelembagaan sosial ekonomi masyarakat; serta (d) masih rendahnya kapasitas kelembagaan dan keuangan pemerintah daerah untuk melaksanakan kegiatan pembangunan perdesaan yang telah menjadi urusan atau kewenangannya.  Sehubungan dengan itu maka tantangannya terkait dengan upaya untuk mengatasi kendala dan permasalahan tersebut di atas dalam rangka mengamankan pencapaian sasaran-sasaran RPJM Nasional 2004-2009 dan RKP 2007 pada khususnya.

      Dalam hal prasarana dan sarana perdesaan, yang menjadi tantangan tidak hanya meningkatkan kuantitas dan kualitas ketersediaannya, tetapi juga tingkat persebarannya (kemerataannya) antar daerah.  Sebagai contoh, rasio elektrifikasi desa di luar Jawa masih rendah dibandingkan di Jawa. Sampai saat ini jumlah desa yang telah mendapat aliran listrik di Jawa mencapai 23.412 desa (93,2 persen) dari jumlah desa di Jawa 25.116 desa, sedangkan untuk luar Jawa jumlahnya baru mencapai 28.594 desa (69,6 persen) dari jumlah desa di luar Jawa 41.098 desa.  Secara nasional masih terdapat 22 persen atau sebanyak 14.208 desa yang belum mendapat aliran listrik sehingga perlu segera dipenuhi kebutuhannya.

Tantangan lainnya adalah meningkatkan koordinasi dan keterpaduan kegiatan antar pelaku pembangunan (pemerintah, masyarakat, dan swasta) dan antar sektor dalam rangka mendorong diversifikasi kegiatan ekonomi perdesaan yang memperkuat keterkaitan sektoral antara pertanian, industri dan jasa penunjangnya serta keterkaitan spasial antara kawasan perdesaan dan perkotaan.  Sementara itu, dalam upaya meningkatkan keberdayaan masyarakat perdesaan, tantangannya antara lain adalah meningkatkan kapasitas lembaga kemasyarakatan desa sebagai mitra pemerintah desa dalam memberdayakan masyarakat desa; memperkuat lembaga ekonomi perdesaan dan peran fasilitator pembangunan dalam menggerakkan perekonomian di perdesaan; menyediakan dukungan informasi peluang usaha/pasar yang tepat; layanan permodalan usaha yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat; dan teknologi tepat guna; serta meningkatkan kapasitas dan kemandirian pemerintah daerah dalam menyelenggarakan upaya-upaya pengembangan ekonomi lokal dan pemberdayaan masyarakat perdesaan.